Sejak TK anak-anakku diberi peraturan yang membuatnya sering terjebak dalam keterpaksaan. Anakku terpaksa membawa piring dan mencucinya sendiri setiap kali habis makan siang, menata sepatunya serapi-rapinya dan harus berdoa setiap kali melakukan sesuatu. Disuruh antrian, disuruh jabat tangan dengan guru. Bahkan guru-guru itu tega mengajak anakku berlapar-lapar puasa dan berlelah-lelah salat. Haknya untuk terus bermain dikekang! Gara-gara itu, anakku jadi punya adab dan mandiri. Punya empati dan tumbuh rasa peduli.
Di SD, anak-anakku dilarang terlambat sehingga terpaksa bangun sepagi mungkin. Di kelas diharuskan mempelajari ilmu ini itu, lalu harus beli buku-buku dan LKS. Bukan cuma bikin mumet pikiran, tapi juga menguras isi dompet. Sampai di rumah, ternyata dibebani dengan PR dan projek. Guru juga nunjuk-nunjuk ikut lomba sana sini, nambah jadwal latihan sehingga jam pulang terlambat. Akibatnya, anakku jadi kreatif, penuh bakat, percaya diri dan banyak prestasi.
Belum selesai di situ. Setelah SD, anakku sekolah di tingkat SMP dan SMA sambil mondok mendapat tekanan lebih berat lagi. Anakku dilibatkan OSIS yang membuatnya kerepotan dan lelah, ditatar kepimpinan yang sangat keras. Belum juga subuh dipaksa bangun dan cepat-cepat bebersih lalu ke masjid. Ditagih-tagih hapalan, dihukum kalau lalai. Dipaksa berbahasa Inggris dan Arab yang bukan bahasa keluarga kami. Dikurung di kompleks pondok tak boleh keluar sama sekali. Bahkan berbulan-bulan dilarang ketemu orang tua! Dampaknya, anakku jadi makin tangguh dan otaknya padat berisi. Makin kenal Rabb-nya dan pandai berbakti.
Begitulah anak-anakku diperlakukan oleh sekolahnya. Telah kulaporkan guru-gurunya kepada Allah, agar diganjar pahala dan keberkahan berlipat. Tetaplah paksa anakku ke jalan surga, daripada dibebaskan menuju jalan neraka.
Terima kasih guru-guru anakku.
Tulisan Oleh : Yazid Subakti
Editor : Chandra Nurpadilah
Sumber :